Cerpen Rumah Dara Karya Titis Basino, Bukan Film Rumah Dara

Cerpen Rumah Dara merupakan satu dari beberapa karya Titis Basino. Cerpen ini bercerita mengenai percintaan dan segala seluk-beluknya. Simak cerpennya di bawah ini.


RUMAH DARA

Karya Titis Basino


RUMAH itu kami tinggali bersama-sama selama ini. Kesenangan di rumah itu kami kenyam bersama selama empat tahun. Seperti saudara kami berteman.
“Dimana kau diam?”
Dan aku sebut jalan itu. Maka orang punya bayangan sendiri masuk golongan mana aku. Tidak ada satu rumah yang tanpa garasi di jalan itu. Dan tentu saja ada isinya.
Kesibukan kami tiap-tiap hari memisahkan kami dengan urusan kami masing-masing. Sampai satu peristiwa yang cukup unik membuka semua yang disibukkan teman-teman. 
Seperti kebiasaan perempuan lainnya di antara kami selalu ada persaingan. Baju dengan segala model yang paling baru. Hias rambut yang baru ada di film yang paling akhir. Juga segala yangbaru dalam dunia wanita jadilah satu macam obyek persaingan.
Apa yang dibicarakan seorang jadi buah mulut di ruang lain Gosip tidak bisa lagi dihindari. Semua kelihatan menenangkan dirinya dalam suatu pertengkaran.
Kamarku di depan. Aku bisa melihat ke luar masuknya teman-teman tiap malam Minggu kalau aku mau; tapi itu merupakan barang yang aku haramkan. Memang hatiku selalu mengajak menengok siapa gerangan teman ke luar mereka malam ini. Dan sekali dua kali keinginan ini tak bisa aku tahan kalau sudah aku dengar betapa sibuk dan riuhnya mereka di depan pintu. Laki-laki itu ingin bicara terus dan temanku selalu ingin lekas-lekas masuk. Dan laki-laki itu biasanya masih berbicara setelah duduk dalam mobilnya.
Kalau saat-saat seperti itu aku tengok, pasti aku melihat film tanpa bayar dan tanpa layar. Sampai di kamar temanku menghempaskan badan di kasur. Dan aku menanti suara sepatu dilempar Kalau suara-suara itu belum aku dengar, aku seakan masih menanti sesuatu yang sudah jadi milikku tiap malam Minggu.
Ibu asrama? Kami tidak mempunyainya. Segala sesuatu bisa kami bereskan. Ganti-berganti kami memegang keuangan tiap bulan. Tentu ada yang tidak senang memegang uang dan mengurus ini itu yang tidak menarik bagi remaja yang belum kawin. Tapi semua harus mengerjakan ini. Dan selesainya tugas merupakan kelegaan yang dirasai salah satu di antara kami setelah habis bulan.
Bulan depan akan diadakan satu pemimpin. Pemimpin itu yang nanti mengurus kebutuhan kami semua ke luar rumah. Aku sudah mulai berpikir siapa yang akan aku calonkan. Semua punya kebaikan sendiri yang lebih dari yang lain.
Jus? Ah, dia sering marah, dan kurang bergaul. Apakah jadinya kalau dia terpilih, tentu tak ada larangan melempar sepatu di malam hari. Ya, dia selalu melempar sepatu yang paling keras sehabis pergi.
Norma? Dia terlalu sering ke luar malam. Apa pula jadinya kalau dia jadi pemimpin, tentu tak ada ketentuan jam malam Bagaimanapun aku nanti akan minta diadakan jam malam, agar aku bisa tidur nyenyak pada malam-malam sehabis sekolah.
Marsel? Ya Marselia, dia seorang saleh. Tiap Minggu dia ke gereja. Tidak pulang terlalu malam kalau sehabis pesta. Dan dia sudah punya pengalaman dalam berorganisasi. Ya, aku akan memilih dia. Tapi Marsel tidak bisa dansa. Tentu kalau ada yang ulang tahun, tidak boleh dansa. Tapi itu bukan soal primer. Biar tidak dansa toh tidak mengurangi ketertiban dalam rumah ini.
Malam itu aku tidur dengan keputusan yang telah aku ambil. Pagi-pagi aku bangun tidur oleh ketukan pintu depan dan setengah tidur aku buka pintu. Berdirilah di depanku Marsel dengan yang hanya bertali kecil di pundaknya
Mataku yang ngantuk jadi terbuka lebar. Lebih beasar dari pundak Marsel yang terbuka itu.
"Aku kemalaman akan pulang tadi malam. Kasihan kamu yang membuka pintu, kukira tentu akan mengesalkan sekali."
Lebih baik kau bangunkan aku malam-malam Daripada kau bangunkan aku sepagi ini. Aku mau bangun siang.” 
Kau marah?"
Marah sih enggak, cuma menyesal"
Apa yang kau sesalkan?
Aku kira kau sudah siap ke gereja pagi ini. Kiranya pulang juga belum." Aku menyindir tanpa melihat reaksi apa yang ada dí mukanya. Marsel diam tidak menyahut. Kediaman tiappencuri
yang ketahuan.
Aku masuk kamar dan kulihat jam dinding. Tepat jam lima Aku tidak terus tidur. Duduk memíkir kisah yang baru saja aku hadapi. Aku dongkol sekali. Kenapa Marsel jadi pulang selambat itu! Ah, aku tidak jadi pilih dia. Tak mau aku dipimpin orang yang sok alim.
Siang itu diadakan pemilihan dan aku belum lagi bisa memilih siapa yang akan kupilih.
Waktu ditanya aku diam saja. Kenapa aku jadi seperti anak kecil? Hanya memilih saja bingung. Apalagi kalau terpilih. Kira-kira aku akan menangis. Begitu pikirku memarahi diriku sendiri Akhirnya aku memilih Jus. Biar dia pemarah asal bisa bekerja.
Tiga bulan berjalan tidak ada apa-apa yang istimewa yang pantas dibicarakan. Jus bekerja dengan baik sekali. Dia sayang sekali padaku. Aku mengira dia seorang yang tak punya hati. Kiranya seorang teman yang bisa juga diajak bergurau.
Jus banyak sekali punya kenalan. Aku selalu dikenalkan pada mereka. Dan aku berpikir bahwa Jus tidak saja sayang padaku tapi juga mendidikku.
Dia tidak lagi pemarah. Dan sudah mau dia bergaul dengan kami yang ada di dekatnya. Memang Jus sudah berubah. Ah, dulu itu tentu karena kami tidak memberinya kesempatan. Kesempatan untuk membawa dia sebagai keluarga yang ada di bawah satu langit-langit. Tentu dia merasa kesal. Kesal karena tak bisa bicara.
Sebelum tidur dia sering ngobrol ke kamarku. Kedatangannya aku terima karena rasa kasihan. Ya, aku kasihan padanya, karena dia tak begitu pandai. Dan dia datang ke kamarku hanya untuk mengobrol setelah payah belajar dan tak bisa masuk ke otak.
Tapi semua yang dibicarakan agak aneh. Semuanya serba tidak aku pahami. Menurut pikiranku yang masih hijau, semua tak ada artinya. Apalagi untuk anak sekolah, apa gunanya ceramah tentang cara menarik dan memikat. Tentu memikat pria.
Kemudian apa yang dikatakan Jus masuk ke otakku. Dan malam harinya jadilah pikiran yang sangat merisaukan. menyukai petuah dan ceramah Jus.
Sampai pada waktu aku diajaknya ke pesta seorang kawannya. Aku sangat kaku dan hampir aku menangis, karena apa yang aku hadapi sangat mengejutkan dan tidak ada yang sama dengan ceramah Jus pada malam-malam aku sebelum tidur ya; semua lain.
Aku ingat kata Jus malam itu:
"Lik, kau musti belajar berteman."
"Untuk apa?"
"Kau tidak bisa hanya belajar melulu di kota ini Kau harus menyesuaikan diri dengan keadaan.
"Aku ke sini hanya ingin belajar. Dan teman bagiku cukup yang ada di sekolah dan kau semua yang ada di rumah ini.
"Kau kira itu saja cukup?"
"Ya, apa lagi?"
"Ah, kau anak kecil, taunya minum susu sebelum tidur Kapan kau jadi besar? Katanya mau jadi diplomat, kenapa tidak tahu taktik?" Dia tertawa. Dengan pandangannya yang mengejek itu aku jadi panas. Kenapa dia yang tolol bisa memikir lebih banyak dari aku? Begitu aku selalu menghadapi orang yang punya pikiran lain dari aku dan aku tidak biasa ditertawakan.
"Kau kira aku tidak bisa mencari laki-laki? Kalau aku mau dan ada yang ditarik aku bisa lebih dari kau. Mau minta berapa?" Aku mulai panas. Dia diam duduk di tempat tidurku.
"Coba buktikan ya, besok aku bawa kau ke satu pertemuan. Dan kau bisa menemui segala macam orang yang sopan dan baik hati."
Lalu? Aku musti mencari yang aku senangi? Cara apa itu? Memangnya dunia ini sudah terbalik? Perempuan yang musti memikat laki-laki? Bukan caraku untuk bergaul dan bertaktik seperti itu."
"Katamu kau tidak kalah dengan aku."
Memang kalau aku mau tentu aku bisa."
Ya, coba buktikan besok!"
Aku diam, hatiku panas sekali Aku akan menolak ajakan yang bersifat menantang itu, tapi aku malu disebut pengecut. Ah, biarlah, pikirku, nanti akan aku tunjukkan bahwa aku bukan kanak-kanak. Dan kalau sudah sekali itu aku tidak akan lagi bergaul dengan dia
Begitulah malam itu aku ada di situ. Di antara orang-orang yang bukan lingkunganku. Semua tampangnya bulat dan gemuk. Pipinya seperti memakan sesuatu. Tertawanya amat memuakkan.
Aku ingat pesta di sekolah. Semua kelihatan muda dan segar Sedang yang ada saat itu semua muram dan mesum. Katanya pesta, tapi orang-orangnya hanya minum bir dan merokok. Sambil sebentar-sebentar tertawa antara mereka. Siapa yang punya pesta ini, aku sendiri tak tahu. Jus duduk rapat-rapat dengan seorang asing yang kelihatannya sangat menyukai dandanan Jus malam itu.
Sementara di sana-sini kulihat orang-orang itu pergi, ke mana aku tak tahu, tapi tidak kembali, sampai selesai pesta itu.
Aku duduk memegangi kipas yang aku bawa. Kupandang semua ini dengan kerinduan pada kamarku. Aku akan senang sekali kalau saat itu Jus datang mengajakku pulang. Tapi aku ditegur laki-laki yang tidak muda lagi.
"Mau minum? Ya?"
"Di mana kita bisa mengambil?" Aku bertanya, sebab di situ tak ada tempat minuman dan tuan rumah itu pun seperti tidak ada nyonya rumahnya. Hanya ada beberapa babu yang duduk di halaman melihat ke dalam.
"Di sana. Di restoran depan rumah."
Tidak disediakankah di pesta ini?"
Oh, ini bukan pesta, hanya satu pertemuan antara kawan.”
Aku diam memandang laki-laki di depanku. Aku cari Jus, tapi tidak kelihatan. Aku sudah mulai bingung Tapi laki-laki itu berkata
"Cari Jus?"
"Ya, aku mau pulang"
“Kenapa kau ke sini? Baru jam berapa sekarang. Besok kan Minggu. Mau belajar?”
“Minggu dan tidak, bukan soal; yang penting, belajar dan mengerti. Untuk lulus saja gampang.” Aku terdiam, laki-laki itu memandangku dari kaki sampai kepala. Dan menggandeng tanganku sambil berkata:
Kau baru kali ini datang ke sini?"
Ya. Mengapa? Ada yang punya rumah? Aku akan minta permisi."
"Mari kita minum dulu Nanti kuantar pulang"
"Aku tidak suka minuman keras "
"Cobalah sedikit."
“Pait kan rasanya? Aku pernah coba di rumah, waktu bapa tidak di rumah, selalu ada di mejanya.”
"Baiklah aku carikan minuman lain. Mari.” Dia kelihatan baik sekali. Aku tiba-tiba mempercayainya. 'Dia pasti tidak akan berbuat jahat padaku.’ Begitu aku berpikir. Dan kami berdua ke luar dari ruang itu. Diikuti pandang dan tawa laki-laki yang duduk tanpa tau sopan.
Salah satu kudengar berkata:
"Man, jangan dimonopoli ya? Masih baru nih." Tapi laki-laki yang membawaku tidak menyahut. Dia hanya tersenyum. Serasa lepas dari maut aku setelah sampai di luar. Aku pegang erat-erat tangan orang itu.
"Ke mana kita?"
Aku ingin pulang saja."
"Biarlah masih sore, kan kita minum dulu."
Tidak, lain kali saja." Aku mengelak
"Baiklah." Orang itu mengiakan. Dan aku dibawa ke tempat parkir mobil. Dia sopan sekali. Aku merasa bersukur menemui dia. Sebentar-sebentar dia memandangku.
"Kau tinggal bersama Jus, kan?"
Ya."Jawabku singkat. Dia tidak menanyakan siapa aku dan tidak memberikan namanya padaku. Aku juga tidak mengharapkan.
Sampaí juga aku di rumah. Scbelum aku turun, dia memegang tanganku dan aku rasai ada sesuatu yang diletakkan di tanganku. Kemudian aku didorong ke luar mobil.
Selamat malam," katanya. Dan dilarikan mobilnya sebelum aku menyahut. Dia kelihatan kesal. Ah, tentu aku telah merusakkan malam Minggunya, pikirku. Tapi aku tak perduli, waktu itu aku hanya ingin pulang ke kamar.
Sampai di dalam rumah, aku buka tanganku. Kulihat sebuah botol. Ini kiranya yang namanya parfum. pikirku. Aku belum pernah mempunyainya Tapi sering kulihat di kamar teman-temanku yang serumah. Mereka banyak sekali mempunyai botol seperti ini. Kalau aku kebetulan ke toko, kulihat harganya rata-rata dua ribu rupiah.
Heran aku memikir dari mana mereka mendapat uang sebanyak itu. Kiranya aku sekarang bisa juga memiliki, walau aku juga tidak pernah punya uang seharga parfum di tanganku.
Malam itu aku tak lekas tidur Semua bayangan di pertemuan tadi kemhali satu-satu di otakku. Ke mana pula si Jus ini? Pikirku. Dia sudah tak ada tadi di sana.
Sampai jam dua belum juga ada yang datang. Marsel menginap ke rumah saudaranya, katanya takut sekali sendirian di rumah besar itu. Aku coba membaca. Tapi tidak masuk. Kembali muka orang yang mengantarku pulang tersenyum di buku yang aku hadapi.
Untung dia baik hati, dia mau mengantarku. Akan kuucapkan terimakasih kelak kalau ketemu. Dan kucoba membuka parfum pemberiannya. Baunya menyakitkan hidung.
Jam berapa Jus pulang aku tak tahu, cuma aku dengar suara babu membuka pintu pagi-pagi Mungkin dia akan menanak nasi.
Aku mulai mengerjakan tugas pagi itu; ya, kebetulan aku punya tugas membersihkan kaca-kaca. Kalau tidak, tentu aku sebal mengingat peristiwa semalam.
Norma mengatur jembangan bunga. Tidak pernah dia setenang itu. Aku heran dia selalu menyanyi. Kali ini dia diam dan mulutnya tersenvum-senyum.
"Apa yang kau lamunkan?
"Aku akan pindah dari sini. Ke mana? Tahu?"
Kenapa sih pindah? Nanti sepi dong tidak ada yang mengisi vas itu."
"Kau sudah pula mulai ke luar malam"
Apa salahnya?" Aku terkejut. Kenapa día jadi begitu. Tak pernah dia mengurus urusan orang. Kenapa kali ini dia menegur perbuatanku?
"Kau turut Jus, ya?
"Ya, kenapa?"
"Ke mana kau?
"Ah, itu bukan urusanmu. Kau sendiri ke luar malam tiap hari."
Ya, tapi aku pergi dengan tunanganku. Jangan lagi-lagi ya kau diajak Jus. Kutulis surat pada ibumu lo Lik, kalau turut Jus sekali lagi. Dia menjual diri.
Menjual diri? Di mana?" Aku pandang muka Norma; dia tidak menoleh padaku
"Sudahlah, jangan tanya lagi. Di mana kau semalam?"
Aku tidak menjual diriku, meski aku pergi dengan Jus." Norma diam, lama dia memandangku. Matanya berlinang
"Kau tidak menerima apa-apa dari laki-laki di sana?"
"Maksudmu?" Aku mulai heran kenapa dia tahu aku dapat parfum dari laki-laki yang mengantarku.
"Katakanlah kau dapat apa semalam."
"Ya, aku memang dapat sesuatu dari orang yang tidak aku kenal. Haruskah aku mengembalikannya? Tetapi aku tidak menjual diriku. Laki-laki itu sopan sekali. Kau takut aku akan
sesat?
Ya. Sebotol parfum dan benda-benda kecil lainnya hanyalah satu permulaan. Lama-lama kau akan biasa menerima uang dari mereka. Kau masih muda Lik, hati-hati mencari kawan."
Aku tidak menyahut. Kurasai mukaku terbakar. Entah aku marah atau malu. Bagaimanapun Norma baik padaku. Dia memperingatkan. Aku memberi penilaian yang agung padanya sejak itu. Meskipun dia ke luar malam, tapi dia pergi dengan orang yang akan mengawininya. Sedang Jus? Aku tak mau berpikir lagi tentang dia.
Seharian aku merasa sebal di rumah. Apa kerjaku di sini, kalau Norma jadi pindah? Aku tidak kerasan tinggal dengan orang-orang setengah umur yang berjaja tiap malam.
Akan kutulis surat ke rumah dan akan kuceritakan apa yang ada di rumah ini. Untung Norma memperingatkan aku. Begitu aku berpikir selalu. Memang dia orang baik.
Selamat sore." Aku dikejutkan suara laki-laki. Tanpa turun dari mobil dia tersenyum padaku. Aku berhenti membaca. Ingin aku melempar mukanya yang berkumis itu dengan buku. Tapi dia menanya lagi:
"Norma ada?" Oh, inilah tunangannya. Untung belum kulempar dengan buku dia. Aku berdiri menyilahkan. Tapi dia tidak mau turun, hanya tersenyum. Kulihat dia agak tidak menghargai aku. Mungkin karena aku masih kanak-kanak di matanya. Dan sore itu aku pakai short. Tentu dia pikir aku anak bawang. Biarlah, pikirku.
Mau duduk dulu? Norma baru saja pergi."
Terima kasih. Dia tersenyum terus, sambil memandang kakiku yang telanjang. Aku mulai kesal dan kudengar dia berkata lagi:
Kau mau pergi dengan aku?"
"Ke mana?" Aku tanya tanpa syak.
"Kau mau ini?" Dia menunjukkan setumpukan uang kertas dari dalam mobil. Aku ternganga. Dia tertawa terkekeh dan aku tinggalkan dia menyelesaikan tertawanya.
Aku tidak jadi menulis surat. Paginya aku tinggalkan rumah itu Sebelum pergi aku ke kamar Norma. Dia belum pulang dan aku letakkan parfum di meja riasnya.
Hujan pagi itu mengantarku pergi ke rumah bibiku.

(Sebuah studi)
Sastra,Th. I No. 12, 1962

Belum ada Komentar untuk "Cerpen Rumah Dara Karya Titis Basino, Bukan Film Rumah Dara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel