Cerpen Kampungku yang Sunyi Karya Yusach Ananda

 Cerpen Kampungku yang Sunyi karya Yusach Ananda tergolong buah karya angkatan 66. Nilai moral yang disampaikan Yusach Ananda sangat mengena dengan kepribadian bangsa dan tidak akan lekang oleh masa. Berikut naskah cerpennya.


Kampungku yang Sunyi

Karya Yusach Ananda


KAMPUNGKU, di sebuah kota kecil sunyi, jauh terpencil di utara. Ya, kotaku kecil dan sunyi kawan, kota di mana aku dilahirkandan kian bisa kubayangkan kesunyian ini, bila kuterima surat kawanku dari kampung, bahwa bila dia duduk-duduk di jembatan dari jam tujulh pagi hingga jam sebelas, orang-oran yang lalu di situ dapat dihitungnya dengan jari tangannya.
Dan ah, surat begitu membuat aku terkenang Kampungku.Kampungku  yang sekian lama sudah kutinggalkan.
Ketika itu aku masih kecil. Masih kanak-kanak. Bila hari sore-sore dan malam-malam baik, kami selalu duduk-duduk dan bermain-main di jembatan kampungku, gertak menurut istilah disana.
O ya, kawan, sepanjang kampungku membujur sebuah jembatan dari timur ke barat yang bersambung pula dengan sebuah kampung yang lain. Sebab lorong kecil selebar dua meter dari selatan, dari sebuah jalan yang agak lebar yang melingkar kotaku,membelah dua kampungku, hingga pada pertengahan jembatan yang disambut pula oleh sebuah stasiun penyeberangan.
Hm, baru sekarang aku menamainya stasiun, di mana orang-orang sekitar kampungku, kampung-kampung di timur dan di barat, hingga kampung-kampung di selatan mendapatkan sampan tambang untuk ke seberang, ke pasar yang persis terletak di hadapan kampungku. Sampan-sampan yang menyeberangkan dari dan ke stasiun itu sampan-sampan yang tertentu. Sampan itu sudah membayar pajak kepada pemerintah. Jadi sampan-sampan yang lain, yang tak membayar pajak tak bisa singgah atau bertambat di situ.
Tahulah kau sekarang, bahwa kampungku di pinggir sungai. Begitulah, bila malam baik dan bulan bersinar, tak jarang aku mengikut kawan-kawan yang besar sedikit bermain-main sampan. Kami yang kecil-kecil mengayuh. Kawan-kawan itu kadang-kadang dengan gitarnya bernyanyi menyusur sungai, kampung demi kampung, lalu putar lagi. Indah benar tampaknya bulan yang bermain-main diair, yang kadang-kadang di muka, kadang-kadang di belakang menurut arah perahu kami. Lalu sebentar-sebentar bulan itu pecah dan warna kuning berserakan berpencar-pencar dibawa gelombang-gelombang kecil oleh sintuhan sesuatu yang tiba di air, dan kemudian bersatu lagi dan bermain-main di air yang mengalun lembut.
Tapi kami dengan hati-hati sekali mengayuh. Dan di pinggir sungai, di tempat-tempat mandi dari pohon-pohon kayu yang disusun-susun lalu diberi berlantai dengan baiknya atau dimuka-muka lanting, yakni rumah di atas air yang mengapit jembatan dengan rumah-rumah di daratan yang berderet-deret di sepanjang sungai yang membelah kotaku itu, terdengar keriuhan suara-suara gadis. Mereka bersiram di malam hari. Dan kawanku kian indah memetik gitar.
Dan aku memang tahu, bahwa ada sesuatu maksud dari bersampan-sampan di malam-malam yang demikian. Tetapi romantik itu sampai di situ saja, sebab kotaku belum mengenal bentuk-bentuk lain dan rasa kesopanan dan adat masih melingkupi dengan tebalnya.
Dan bila malam gelap dan air baru mulai pasang, pernah pula aku mengikut mencari udang di tempat-tempat mandi atau di tepi-tepi lanting pada bahagian pohon yang terendam pada jauh malam dengan sebuah lampu yang sengaja dibuat untuk itu. Bila ada udang yang dari jauh telah tampak matanya yang merah lalu diserampang. Dan udang itu tak bisa bergerak, diangkat perlahan, dilepaskan dalam sampan.
Tetapi yang sudah menjadi kebiasaan, bahwa pada sudut di tekongan ke stasiun penyeberangan adalah tempat pertemuan. Secara otomatis saja, bila habis makan sore (kebiasaan di kampungku makan malam adalah jam 5 sore) orang-orang berkumpul di situ dan bubar sebentar bila hari telah magrib, dan dimulai lagi hingga jauh malam. Sudah tentu orang-orang lelaki di sini.
Pada malam-malam minggu, sebagian anak-anak mudanya sudah ke pasar, untuk nonton bioskop yang cuma ada sebuah atau pada Sabtu sore itu diadakan latihan Seinendan, yang rata-rata semua pemuda kampungku memasukinya, atau bersuka rela untuk hari-hari besar atau membersihkan lapangan-lapangan latihan-latihan itu.
Di tempat pertemuan itu mereka bicara apa saja. Dan sesekali diselingi ketawa terbaak-bahak. Dan mereka itu cuma sedikit saja tidurnya di malam hari, karena pada pagi yang awal mereka akan ke ladang. Ke ladang seharian. Dan bila semalaman hujan turun, tempat pertemuan umum di tekongan ke stasiun penyeberangan itu pagi harinya jadi ramai, lalu sebagian beramai-ramai ke pasar.
Dan berakhirlah pendudukan Jepang, Dan semangat kemerdekaan yang dikobar-kobarkan oleh pemimpin-pemimpin terkemuka masa itu di kotaku menjadi pula pembicaraan-pembicaraan dikampungku, di pertemuan umum. Dan ada direncanakan untuk merundingkan dengan pihak penerima kekuasaan dari Jepang untuk menolak kedatangan NICA yang kabarnya telah tersiar untuk kembali memerintah sebagai sediakala melanjutkan sejarah lamanya di Indonesia ini. Tetapi perundingan itu macet.
Dan suatu hari, diadakan demonstrasi anti NICA dengan penurunan bendera Belanda di kantor pemerintah yang dikibarkan oleh orang-orang yang sangat berjiwa kolonial masih. Dan dalam demonstrasi ini, di mana pekik Merdeka dan anti NICA berapi-api, kantor pemerintah diserbu dan seorang yang dianggap pengkhianat dapat dihancurkan kepalanya. Alat-alat kantor dirusakkan.
Dan dengan tiada disangka-sangka terdengar letusan senapan mesin serdadu-serdadu NICA yang datang dari kota P. Dan akibatnya dua orang demonstran mati dan seorang luka parah. Yah betapa kepanikan yang terjadi di kotaku ketika itu, dapat kau bayangkan kawan. Kotaku, yang baru sekali itu mengalami demikian.
Dan pertemuan umum di kampungku jadi sunyi.
Penangkapan terjadi..
Kemudian orang sudah seperti biasa lagi. Kami kadang-kadang main sampan lagi. Hanya sebagian orang, ada yang menyebut-nyebut seorang yang lain: Kucing Hitam. Mereka adalah yang selalu berdampingan dengan NICA Dan beberapa serdadu NICA telah tinggal di rumah-rumah di kampung-kampung sebagai menantu.
Dalam saat-saat itu aku pindah ke kota P dan disitu aku lanjutkan sekolahku.
Belum setahun aku di P, ada suatu kabar yang menggemparkan, bahwa telah terjadi penyerbuan tangsi NICA oleh rakyat di malam hari dikotaku. Dan kemudian kuterima surat dari seorang kawan, bahwa kotaku ketika itu terasa sangat sunyi. Pemuda-pemudanya pada banyak ditangkapi dan lari Serdadu-serdadu NICA berjaga-jaga di mana-mana. Jam malam mulai siang hari Dan orang-orang tak boleh berkumpul hingga tiga orang. Ah, alangkah sunyinya. Begitu kampungku tentu.
Dan kemudian aku tak banyak menerima kabar tentang kampungku lagi, karena aku sendiri sangat malas menyurati kawan-kawan di kampung.
Dan terjadi penyerahan kedaulatan.
Telah sekian tahun aku tak kembali ke kampungku. Dan sekali, ada pula kawan menyurati aku. Tetapi kawan ini adalah kawan di kota P yang ditugaskan di kotaku untuk beberapa bulan. Dia menyurat padaku, bahwa kotaku kelihatannya ramai juga dan makmur. Dan dia menggambarkan betapa mewahnya hidup di sana Maklumlah, katanya, dari menyadap karet seorang akan berpenghasilan sehari Rp. 40- bersih. Dan dari pekerjaan smokel ke bahagian Serawak, mereka mendapatkan apa saja yang sukar dan tak mungkin didapat di kota P yang sudah menjadi ibukota dari daerahku.
Dan terbayang di mataku, betapa girangnya, bersemangatnya, serta meriahnya tempat pertemuan di tekongan jembatanku. Dan mereka nonton-nonton, ke pasar, main-main bersukaria dengan sampannya. Dan mereka lebih berani, lebih punya harapan untuk mencari tambatan hati. Dan pada pagi yang awal, kebun-kebun karet di sekitar kampungku sudah ramai.
Aku girang, bahwa di suatu waktu nanti aku datang ke kampung akan menjumpai kawan dan keluargaku yang semuanya pada senang hidupnya. Tapi aku tak juga datang pada waktu-waktu itu. Aku yang pada waktu itu telah repot dengan pekerjaanku. Juga sekali, sekali lagi, sekali lagi Lebaran aku tak datang ke kampungku. Begitu pun kali tadi.
Dalam waktu-waktu aku berharap bisa datang ke kampungku, datanglah beberapa kawan darisana dan membawa cerita tentang  kampungku, kotaku kini. Dan dari ceritanya, hilanglah apa yang selama ini kubayangkan, kemewahan dan kemakmuran yang aku ingin melihatnya dan merasainya pada keluargaku nanti.
Kampungku kini sunyi. Penghidupan sukar, karet merosot harganya dan padi tiada menjadi.
"Tapi, bukankah dulu harga karet melambung tinggi, dan saudara-saudara di kampung hidup makmur! Sungguh terkenal sampai di sini, berapa besar penghasilan saudara-saudara di sana dan tiada masuk di akal jika kini saudara-saudara merasa sangat terjatuh dari tempat tinggi dan kampung kita jadi sunyi, tiada bersemangat," kataku pada mereka, setelah mereka bercerita sedikit tentang kampungku, kotaku, keadaan mereka, dan maksud mereka untuk minta pertolongan padaku mencarikan lowongan pekerjaan apa saja, asal tidak menganggur.
Dalam bercerita itu kelihatan air muka mereka membayangkan adanya suatu penyesalan pada dirinya dan mereka bercerita lebih lanjut.
Bahwa sudah beberapa kali terjadi, ya, sudah beberapa kali, setelah hidup mewah mendadak, kemewahan itu menjerat leher akhirnya. Tapi ini kali bagi kawan-kawan yang datang itu sudah dianggap sampai pada puncaknya. Karena ketololan dan ketakaburan mereka sendiri.
Bila harga karet melambung tinggi, di mana penghasilan seorang terkadang sampai Rp. 40- atau Rp.50,-bersih sehari, mereka sama menyerbu lapangan ini dengan melupakan ladang mereka. Beras toh mereka dapat beli dengan harga berapa saja. Dan mereka menghamburkan uangnya untuk pelesiran dan pada barang-barang yang tiada gunanya sama sekali. Mereka lupa, bahwa harga karet bisa jatuh, dan bila terjadi tiada memadai lagi, teringatlah mereka ladangnya yang sudah terbengkalai. Uang sudah habis karena royalnya dan terpaksa mereka omong-omong dengan tauke-tauke di pasar. Sehelai demi sehelai pakaian berpindah tangan bertukar kertas seharga beberapa rupiah saja. Dan jika ladangnya selesai, hasilnya adalah sudah milik tauke-tauke tadi Tapi terjadi lagi karet melambung tinggi, dan mereka lupa lagi atau sengaja memuaskan nafsu dengan tak menghitung bahwa mungkin besok terjadi kejatuhan harga..
Demikianlah, dan kejatuhan sekali ini sungguh memberi pukulan. Dan penyelundupan sahang tak bisa dilakukan dengan terjamin karena dijaga dengan rapi. Tak ada usaha lain, dan kebanyakan mereka telah pergi ke S, ke D, ke M. Sunyi, pendeknya sunyi. Kotaku jadi sunyi, kampungku jadi sunyi.
Tapi pembangunan ada dilakukan toh?" tanyaku.
Pembangunan?" mereka mengulang. "Ada Di bagian pasar."
Pasar?" aku pula mengulang. Terbayang sekilas pasar kotaku kini telah berganti rupa. Pasar kotaku ketika Jepang mendarat telah dibakar habis. Dan sampaisekarang hanya beratapkan daun sagu.
“Ya, karenanya yang merasai pembangunan itu ialah pemilik-pemilik pasar yang lama, yaitu orang-orang Tionghoa."
Yang lain?" aku tanya lagi.
"Yang lain seperti biasa. Seperti semasa kau ada di sana." Sejurus kami diam.
Dan seperti biasa, kami cuma ditentukan oleh karet," tiba-tiba mereka berkata lagi.
Ha!" aku ketawa. Hampir aku mengcjek. Seperti tak bisa berusaha yang lain dan menggunakan pikirannya saja. Toh dari karet itu mereka pernah mengalami masa "gemilangnya", tapi kegemilangan itu karam dan suram dan mereka tak bisa melihat hari depannya dari sini lagi. Tapi insyaf aku, dan aku diam saja. Barangkali mereka, kawan-kawanku yang ini, tak berhak menerima kesalahan itu sendiri.
Sekolah?" tanyaku lebih jauh.
Dulu ada didirikan SMP partikelir. Tapi kemudian sekolah ini mati, karena tak beruang Murid-muridnya tak beruang.”
"Kasihan!" dalam hatiku.
"Dan banyak murid-muridnya pada jadi peladang, mengayuh sampan tambang, atau ke-S, ke-D, ke-M, mencari kerja Yang sanggup sedikit menyekolahkan anaknya ke sini. Tinggallah orang-orang tua lagi. Dan kami yang tinggal, kamianak anak muda ini, sungguh merasa sepi. Dan hidup dari karet yang begini, yang telah membawa kesepian lagi, sudah membosankan juga bagi kami."
Lama aku tak bertanya sesudah itu. Mereka juga diam, seakan menunggu apa lagiyang akan kutanyakan tentang kampung dan kotaku. Tapi aku terus diam.
Tergambar kesunyian kotaku.
Ah, betapa sunyinya kampungku kini.

Kisah. Th. I No. 4, Oktober 1953

Belum ada Komentar untuk "Cerpen Kampungku yang Sunyi Karya Yusach Ananda"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel